Rabu, 05 Juni 2013

Ketika itu...

Semua berjalan secara sederhana. Kita becanda, kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun segala percakapan itu hanya tercipta melalui pesan singkat yang saling berbalasan. Perhatian yang mengalir dari mu dan pembicara manis kala itu hanya ku anggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai dengan luar biasa.

Kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hati dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan aneh. Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak menyapaku melalui dentingan yang menunjukan 1 pesan darimu. Setiap hari ada saja topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada akhirnya kita berbicara hal yang paling menyentuh, cinta.

Kamu bercerita tentang seseorang yang pernah kamu cintai, dan aku bisa merasakan perasaan yang kamu rasakan. Aku berusaha memahami kerinduanmu akan perhatian seorang wanita. Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian itu tanpa kamu ketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering aku berikan tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu lagi, hatiku bertanya-tanya seorang pria hanya menceritakan perasaannya pada wanita yang dianggap dekat. Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah kamu sudah menganggapku sebagai wanita spesial, meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa ku sadari bahwa cinta telah menyeretku ke arah yang mungkin saja tak ku inginkan.


Saat bertemu, kita tak pernah bicara banyak. Hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara secara tak langsung, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. Ini hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang baru dalam hadirmu. Aku berusaha mempercayai bahwa perhatianmu, candaanmu, dan caramu mengungkapkan pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.

Aku tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian. Aku juga tak ingin merasakan sakit sendirian. Tapi, nyatanya...
Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya wanita yang takut kehilangan seseorang yang tak pernah aku miliki.

Salahku memang jika mengartikan tindakanmu sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan? jika berharap bahwa kamu juga punya perasaan yang sama. Kamu sudah jadi sebab tawa dan senyumku, aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan memberiku sinar terang. Aku sangat mempercayaimu, sangat! Dan, itulah kebodohan yang harus ku sesali.

Ternayata ketakutanku terjawab sudah, kamu menjauhi ku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi tanpa ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan yang tak kau sampaikan padaku, tapi pantaskah aku marah? Aku tak penah menjadi siapa-siapa bagimu, mungkin aku hanya persingahan, bukan sebagai tujuanmu. Kalau kamu ingin tau, aku sudah merancang berbagai mimpi indah yang ingin ku wujudkan bersamamu. Mungkin suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan, aku percaya kita pasti bisa saling membahagiakan.

Aku tak punya hak untuk memintamu kembali, juga tak punya aturan untuk memintamu segera pulang. Masih adakah yang perlu ku paksakan, jika bagimu aku tak pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan. Dulu, aku terbiasa dengan candaan dan perhatian kecilmu, namun segalanya tiba-tiba hilang menguap tak berbekas.

Sesungguhnya, ini juga salahku yang bertahan dalam diam meskipun aku punya perasaan yang lebih dalam dan kuat. Ini bukan salahmu, juga bukan kesalahannya. Tapi, tak mungkin matamu terlalu buta dan hatimu terlalu cacat untuk tau bahwa aku mencintaimu.

Aku harus belajar tak peduli. Aku harus belajar memaafkan, juga merelakan...

Enggak selamanya...

Ketika kita terbiasa menjadi yang pertama, muncul pertanyaan bagaimana nanti ketika saatnya kita harus mengalah dan menjadi nomer kedua. Ketika kita terbiasa menerima semua pujian serta senyuman, muncul keraguan bagaimana nantinya kita bisa menepuk bahu orang lain dan tulus memuji. Ketika kita terbiasa didengar dan diperhatikan, mungkin akan datang saatnya ketika kita berdiri namun tak satupun menyadari. Ketika kita terbiasa memiliki waktu, akan ada saatnya kita berdiam dan waktu bergulir meninggalkan.

Apakah semua orang mempunyai masanya? bukan mengenai kehidupan tapi tentang keberadaannya. Apakah ketika seseorang dianggap ada, maka nantinya kita harus berfikir dan siap untuk tergantikan?.

Akan ada satu titik dimana semua terlihat sia-sia. Ada sebuah titik dimana muak dan frustasi menari dalam benak kepala kita. Ada saatnya kilasan harapan itu hilang dan tergantikan dengan gambaran seorang pecundang. Kadang akan tiba saatnya, perasaan kuat itu hilang, dan tergantikan rasa bodoh yang menyedihkan.

Kita pernah berjuang berusaha, namun jatuh di tengah jalan. Digoda oleh nikmatnya menyerah, duduk santai, dan mencoba lari dari kenyataan. Kita pernah tersungkup lelah, saat semua energi hilang, dan kemalasan serasa pilihan yang tepat menyesatkan. Kita semua pernah jatuh. Pertanyaannya adalah "Seberapa kuat kita bisa bangkit kembali?"