Aku seringkali memerhatikan senyummu dari kejauhan.
Berkali-kali tersenyum dan tertawa kecil saat bayangmu berputar-putar di
otakku. Menyakitkan memang jika tahu kamu tak pernah ada di dekapku, tapi
bukankah cinta juga butuh rasa sakit? Rasa sakit yang kunikmati setiap goresan
lukanya… karena mencintaimu.
Aku memang pengecut, tak berani mengucap cinta dan mengamit
rindu di depanmu. Tapi… ada beberapa sisi gelapku yang tak kau ketahui, aku
selalu mendoakanmu, merapal namamu dalam
percakapan panjangku dengan Tuhan. Memang, cinta itu terasa seperti
siksa, ketika pengungkapan tertahan pada bibir kelu, ketika tatapanku hanya
bisa menjagamu dari kejauhan. Di atas semua siksa itu, aku tetap mencintaimu.
Ketika tatapan kita saling bertemu, seperti ada listrik yang
menjalar di tubuhku, lalu jutaan kupu-kupu menari riang di perutku. Entah harus
disebut apa, yang jelas saat-saat bola matamu menyentuh bening mataku, aku
seperti lupa bernafas, seakan-akan ginjal berpindah ke usus dua belas jari. Aku
seperti patung yang tak berpembuluh darah. Mungkin… perasaan aneh ini tak juga
kamu rasakan, karena sosokmu selalu saja begitu, menganggapku teman biasamu.
Atau mungkin saja, kamu lupa namaku, kamu tak ingat setiap abjad dalam nama
lengkapku. Aku memang bukan siapa-siapa di matamu.
Tak dapat dipungkiri memang, pemendaman yang menyakitkan
selalu butuh pengungkapan, dan rasa yang disembunyikan harus menemukan
kejelasan. Aku memutar otak, berpikir lebih keras dari biasanya. Lalu… kutatap
lagi dirimu di sudut itu, beberapa meter dariku. Ada tangan nakal yang seakan-akan menarik
hatiku, menggelitik rasaku, untuk setidaknya mengucap sepatah dua patah kata.
Tak peduli harus terlihat bodoh ataupun konyol di matamu. Aku hanya ingin kamu
memerhatikanku, walaupun hanya sedikit, walaupun hanya sedetik!
Kamu bukan malaikat dengan sayap indah, atau iblis
menyebalkan dengan tanduk di kepala. Ini bukan soal keindahan fisik atau
seberapa hebatnya kamu, ini tentang perasaan absurd yang bahkan tak kusadari.
Ini tentang perasaan aneh yang merasuki tidur malamku dan bangun pagiku, selalu
saja wajahmu tergambar jelas saat itu. Aku terhipnotis. Dan kamulah sebab dari
rasa mabuk yang memiringkan langkahku, juga menganggu kinerja otakku.
Cukup! Aku sekarat! Aku harus menyapamu lebih dulu! Aku
harus mendengar suara lembutmu mengalun. logika tak boleh ikut dalam permainan
rumit bernama cinta.
Tapi, lagi-lagi bibirku kelu! Lagi-lagi tentang rasa malu!
Lalu aku mundur selangkah dua langkah.
Lalu kembali memerhatikanmu lagi diam-diam seperti biasa…